Pertemuan Putin–Trump Berakhir Tanpa Solusi! Rusia Makin Brutal, Zelensky Menyerah!


Ditengah pertemuan Presiden Vladimir Putin dengan pemimpin Uni Emirat Arab, sorotan dunia bukan hanya pada diplomasi. Justru ada satu benda sederhana yang mencuri perhatian. Sebuah tas kerja hitam tampak biasa tapi dijaga ketat oleh dua pengawal bersenjata lengkap. Bagi yang paham, ini bukan sekadar tas. Inilah si Get tombol kendali nuklir Rusia. Momen ini makin panas karena terjadi tepat setelah Rusia secara resmi keluar dari perjanjian. 

Kesepakatan yang selama puluhan tahun menahan Amerika dan Rusia dari perlombaan senjata nuklir. Artinya batas itu sudah hilang. Krem pengaman dilepas dan beberapa jam kemudian dunia langsung melihat dampaknya. Rudel melesat, sirene meraung, langit malam berubah jadi lautan api. Perang yang sempat melambat kini kembali membarah. Dan percaya atau tidak, cerita ini membawa kita pada skenario yang jauh lebih berbahaya dari sekedar serangan biasa. Tas hitam di tangan Putin bahkan belum sempat dingin sorotannya ketika dentuman pertama mengguncang. Bukan di garis depan darat, melainkan di jantung ekonomi Rusia. Bombinate Ukraina dalam operasi yang disebut-sebut batten berani tahun ini berhasil menembus ratusan kilometer pertahanan udara Rusia. Targetnya dua kilang minyak terbesar milik raksasa energi Rosneev. Ledakan pertama di kilang Riazan memaksa separuh operasinya berhenti total. Ledakan kedua di Novo Kipsky membuat seluruh produksi lumpuh seketika. Dampaknya langsung terasa kapasitas energi Rusia turun hampir 10%. Waktu serangan itu juga mencurigakan. Hanya beberapa hari setelah Amerika secara terbuka mengecam India dan Cina karena membeli minyak dari Rusia. Apakah ini kebetulan atau Ukraina sedang mengerjakan pekerjaan rumah untuk Washington? Pertanyaan itu kini menggantung di meja para anal. Namun, Rusia tidak tinggal diam. Balasannya cepat, mematikan dan penuh pesan. Rudal jelajah supersonic K22 dan K32. Senjata yang bisa melesat empat kali kecepatan suara ditembakkan ke kota Nikolayev. Targetnya disebut sebagai kompleks yang dihuni tentara bayaran dan instruktur militer asal Prancis. Serangan tidak berhenti di situ. Di desa, dekat perbatasan Ukraina Romania, bombinate Kamikaze Geran  menghantam pipa gas utama Ukraina. Ledakan besar memicu kebakaran yang terlihat hingga puluhan kilometer.

 Aliran gas non Rusia terputus total. Ukraina yang selama ini bergantung pada pasokan alternatif kini masuk ke fase krisis energi. Tapi dalam perang, balas dendam tidak pernah menunggu lama. Beberapa jam setelah serangan di Odesa, giliran Krimea yang diduduki Rusia jadi sasaran. Gelombang rudal dan dron Ukraina menghantam ambition strategis. Meski sebagian besar berhasil ditembak jatuh, sejumlah sasaran bernilai tinggi berhasil kena. termasuk sebuah kapal serbu cepat tiga stasiun alarm dan kemungkinan gudang amunisi yang bikin merinding saat semua ini terjadi, sebuah pesawat pengintai Amerika RC 135 terbang di atas laut hitam. Tugasnya mengumpulkan intelijen tentang Krimea dan wilayah Rusia lainnya. Apakah abstracts dari RS 135 ini yang membantu Ukraina menentukan titik serangan? Banyak yang menduga ia. Semua itu berlangsung di tengah manuver politik global. Donald Trump berusaha memposisikan diri sebagai agent damai melakukan pertemuan rahasia dengan beberapa pihak untuk mendorong gencatan senjata. Ironisnya, ketika meja diplomasi dibuka di Medan tempur justru ratusan bombinate berterbangan, meledak, dan membakar jembatan perdamaian yang tersisa. Yang jelas serangan kekilang minyak bukan sekadar aksi militer. Ini serangan untuk memutus nadi ekonomi Rusia. Dan bila nadi itu benar-benar berhenti, eskalasi perang bisa melonjak jauh lebih tinggi dari yang dibayangkan. Di tengah dentuman rudal dan ledakan dron, kabar mengejutkan datang dari Moskow. 

Pasukan khusus Rusia menangkap tiga perwira chief Inggris. Tuduhannya berat ikut mengkoordinasikan serangan bombinate dan rudal ke posisi strategis Rusia. Bahkan menurut intelijen Rusia, mereka juga merencanakan sabotase lingkungan di laut. Caranya dengan membuat tumpahan minyak rekayasa lalu membingkai minyak Rusia sebagai ancaman besar ekosistem global. Bagi Kremlin, ini bukti bahwa NATO di bawah bayang-bayang Amerika sudah terlibat langsung. Meski selalu membantah di depan publik, ketegangan terus bertambah ketika Israel akhirnya angkat suara. Selama bertahun-tahun, Tel Afif menahan diri tidak pernah secara terbuka mengutuk Rusia. Tapi kali ini berbeda. Israel mengecam serangan Rusia. Diduga terkait laporan bahwa Moskow telah mentransfer peralatan militer strategis ke Iran musuh utama Israel. Di sisi lain, Rusia mengumumkan tidak lagi mematuhi adjournment rudal nuklir yang berlaku sejak akhir perang dingin. Artinya, batasan yang selama puluhan tahun menahan perlombaan senjata jarak menengah kini lenyap. 

Para analis menilai ini seperti menghidupkan kembali ketegangan era 80-an. Bedanya kali ini teknologi senjata jauh lebih mematikan dan waktu reaksi lebih singkat. NATO mungkin belum mengibarkan bendera perang resmi, tapi operasi rahasia, pergeseran aliansi dan ancaman nuklir yang mulai dibuka semua mengarah ke satu kesimpulan. Bayangan perang dingin sedang kembali, kali ini tanpa rem pengaman. Sejak invasi dimulai, Barat berusaha menekan Rusia lewat sanksi. Aset dibekukan, perdagangan dipersempit. Di atas kertas strategi itu mematikan. Tapi kenyataannya tidak sepenuhnya. Rusia menemukan jalur alternatif. Moskow memperluas perdagangan energi ke Tiongkok dan India bahkan Afrika dan Amerika Latin dari biji-bijian sampai senjata kesepakatan baru terus lahir. Putin tetap berdiri sejajar di panggung diplomasi bertemu kepala negara Brick dan Timur Tengah. Sanksi memang mengguncang ekonomi Rusia. Inflasi naik, Rubelt tertekan. Tapi diversifikasi pasar dan logistik alternatif membuat dampaknya tidak mematikan. Kremlin justru mengirim pesan isolasi barat hanyalah tembok penuh celah. Di sisi lain, Ukraina menghadapi badai dalam negeri. Untuk pertama kalinya sejak perang pecah, ribuan warga turun ke jalan dalam protes besar. Pemicunya langkah Presiden Zalanski yang dianggap melemahkan lembaga anti korupsi. 

Masalah lain muncul di garis depan krisis pasukan. Gelombang wajib militer ditolak banyak warga. Pemerintah malah memilih jalur keras, menyisir stasiun kereta bawah tanah, klub malam, bahkan pesta pernikahan untuk memburu pria usia militer. Bagi rakyat ini bukan lagi soal membela tanah air, tapi dipaksa maju tanpa persiapan. Di parlemen, kepercayaan terhadap Zalanski mulai goyah. Sejumlah anggota mayoritas mempertanyakan strategi perang. Retakan ini jadi peluang emas bagi Rusia untuk menggiring narasi bahwa musuhnya bukan hanya kalah di medan tempur, tapi juga runtuh dari dalam. Meski begitu, upaya damai tetap dicoba. Donald Trump dan Vladimir Putin dikabarkan sepakat membuka pembicaraan gencatan senjata. Namun, satu hal langsung memicu kontroversi. Ukraina tidak diundang. Bagi Zelenski, ini penghinaan sekaligus ancaman. Ia menegaskan tidak akan menyerahkan sejengkal pun wilayahnya. Tapi semua orang tahu mustahil Putin menerima gencatan senjata tanpa imbalan signifikan. Artinya satu-satunya jalan justru mengarah pada eskalasi. Rusia meningkatkan serangan. Ukraina membalas dengan senjata barat. NATO makin terseret. Dengan kedua pihak sama-sama menolak mundur, jalan damai kini terlihat seperti ilusi. Yang tersisa hanyalah adu kekuatan dan bayangan perang yang semakin gelap di Cakrawala. 

Sementara itu, pasar energi all-around ikut terguncang. Serangan ke kilang Rusia membuat harga minyak mentah melonjak tajam di pasar internasional. Negara-negara di Eropa yang selama ini mencari cara keluar dari ketergantungan energi Rusia justru kembali menghadapi krisis pasokan. Di sisi lain, negara-negara Timur Tengah memanfaatkan momen ini untuk menegosiasikan harga lebih tinggi memperkuat posisi mereka di panggung global. Dengan kata lain, perang yang terjadi di medan tempur bukan hanya soal rudal dan dron, tapi juga soal siapa yang mengendalikan denyut ekonomi dunia.