Prabowo Tak Tahan! Bupati Pati Sudewo Dimarahi di Tengah Demo Warga!

 tanggal 13 Agustus akan selalu diingat sebagai hari ketika pati benar-benar meledak. Amarah rakyat pecah tak terbendung. Jalanan menuju alun-alun penuh sesak oleh ribuan manusia yang datang dari segala penjuruh. Bukan untuk berpesta, tapi untuk menuntut satu hal. Bupati Sudewo harus turun sekarang juga. Pemicu utamanya, kebijakan gila menaikkan pajak bumi dan bangunan hingga 250%. Sebuah tamparan keras yang menunjukkan kepentingan rakyat ditempatkan paling bawah. Luka itu makin dalam karena selama ini Sude dianggap arogan menepis kritik bahkan balik menantang. Ucapan fatalnya menyuruh 50.000 orang turun ke jalan kalau berani justru menjadi bensin yang menyambar barah. Dan rakyat pun menjawab dengan cara yang tidak akan pernah ia lupakan. Sejak pagi, udara di pusat kota Pati terasa berat. Jalan menuju alun-alun dipenuhi wajah-wajah yang membawa amarah, bendera, dan poster tuntutan. Ribuan orang dari berbagai penjuru desa menyatu dalam satu gelombang besar. Teriakan bergema. Sude harus angkat kaki dari kursi bupati. Awalnya orasi dan teriakan masih terkendali, tapi jam terus berjalan, pintu kantor bupati tetap tertutup rapat. Nada suara berubah, semakin keras memekakan telinga. Permintaan agar Sudewo keluar dan bicara tak juga diindahkan. Kekecewaan berubah jadi keberanian nekad. Masa mulai mendorong pagar, memaksa masuk ke halaman kantor, lalu bergerak menuju gedung DPRD. Polisi membentuk barikade, tapi dorongan ribuan orang membuatnya goyah. Botol air mineral benda-benda sekitar mulai berterbangan ke arah gedung. Meriam air di tembakan. Namun, bukannya meredam, justru menyulut api amarah lebih besar. Pukul 10:45 menit, pagar pertahanan runtuh. Masa meluber masuk, ruang dewan berubah jadi panggung kemarahan. Pot bunga pecah, perabot berantakan, dan setiap dentingan pecahan seakan menjadi teriakan protes yang tak lagi bisa dibungkap. Butuh 2 jam sebelum Sudewo akhirnya muncul. Bukan berdiri di tengah rakyatnya, melainkan keluar dari balik mobil yang dikelilingi aparat. Dengan pengeras suara, ia meminta maaf. Berjanji akan memperbaiki kinerjanya. Tapi bagi warga, janji itu sudah terlambat. Botol, sandal, hingga kata-kata pedas kembali melayang tepat ke arah bupati. Ajudannya berusaha melindungi, tapi suasana sudah di luar kendali. Sudowo mundur masuk ke gedung, sementara ribuan orang tetap berdiri di luar. Membuktikan bahwa hari itu suara rakyat benar-benar mengguncang jantung kekuasaan. Namun, jauh sebelum ribuan warga pati turun ke jalan, tanda-tanda perlawanan sudah menggelegak. Tanggal 1 Agustus, sebuah ambulans terparkir di sisi barat kantor bupati dengan tiang bendera yang memuat dua simbol. Di puncaknya merah putih berkibar gagah. Tepat di bawahnya kain hitam bergambar tengkorak bertopi jerami ikon bajak laut dari anime One Piece. Itu bukan aksi iseng, itu simbol perlawanan rakyat. Gerakan ini digagas masyarakat Pati Bersatu, kelompok yang sejak awal menolak kebijakan yang mereka anggap penindas. Bersamaan dengan aksi simbolik itu, mereka menggalang dana untuk aksi besar. Teguh Istianto, sang koordinator menegaskan ini murni inisiatif rakyat tanpa campur tangan pihak luar. Ketika harian ditunggu tiba, alun-alun dan jalanan Pati berubah jadi lautan manusia. Ribuan masa bergerak serentak tak hanya dari pusat kota, tapi juga dari pelosok desa. Kabupaten Pati yang dikenal sebagai Bumi Minatani, tempat ribuan keluarga bergantung pada hasil bumi merasa dipukul telak oleh kenaikan pajak bumi dan bangunan hingga 250%. Bagi mereka, kebijakan ini bukan sekadar angka di atas kertas. Ini ancaman langsung terhadap sumber hidup dan masa depan mereka. Solidaritas pun mengalir deras. Donasi membanjir mulai dari air mineral, makanan ringan, hingga nasi bungkus buatan para ibu. Meski tidak semua turun ke jalan, mereka ikut berkontribusi dengan tenaga, waktu, bahkan tabungan mereka. Yang mengejutkan dukungan datang dari luar daerah. Masa berdatangan dari Semarang, Bogor, Jakarta, bahkan Kalimantan. Kemarahan ini menembus batas wilayah, menyatukan berbagai lapisan masyarakat. Namun harapan akan aksi damai runtuh. Permintaan warga untuk bertemu bupati tak kunjung di respons. Emosi memuncak. Masa menerobos pagar, aparat membalas dengan semprotan air. Saling dorong berlangsung sengit. Puluhan orang luka-luka. Beberapa ditangkap. Puncaknya gas air mata ditembakkan bukan hanya ke kerumunan, tapi sampai ke rumah-rumah warga. Belakangan terungkap gas air mata itu sudah kadal warsah. Bagi warga ini bukan lagi sekadar penindasan kebijakan, tapi penghinaan terang-terangan terhadap martabat mereka. Gelombang kemarahan pun berubah menjadi pesan tegas. Rakyat Pati tidak akan tinggal diam. Di tengah badai protes yang membesar, Bupati Sudewo menegaskan kepada wartawan bahwa ia tidak akan mundur. Menurutnya, ia memperoleh mandat rakyat melalui pemilihan konstitusional dan demokratis. Jabatan bupati tidak bisa ditinggalkan hanya karena demonstrasi. Ia mengingatkan setiap proses pemerintahan punya mekanisme yang harus dihormati. Sebagai kader Partai Gerindra, situasi ini ikut menjadi perhatian pusat. Sekretaris Jenderal Gerindra, Sugiono menginstruksikan Sudewo untuk tidak menambah beban rakyat agar lebih peka mendengar aspirasi masyarakat sebelum membuat keputusan strategis. Gelombang tekanan tidak hanya datang dari jalanan, DPRD Pati bergerak cepat menggelar sidang paripurna mendadak. Hasilnya dibentuk panitia khusus pemakzulan bupati. Hampir seluruh fraksi mendukung termasuk dari Gerindra sendiri. Pimpinan DPRD menjelaskan keputusan diambil setelah melihat banyaknya warga terluka. Hak angket dan pansus resmi digulirkan. Ketua Pansus Teguh Bandang Waluyo dari PDIP bersama Wakil Ketua Joni Kurnianto dari Demokrat meninjau kebijakan-kebijakan Sudewo selama 6 bulan masa jabatannya. Hasilnya banyak yang dinilai memicu konflik sosial. Mulai dari rotasi jabatan yang tidak transparan, rangkap jabatan hingga kasus serius soal surat peringatan ketiga dari BKN terkait pengangkatan direktur RS Upati yang diabaikan. Ditambah lagi 220 pegawai diberhentikan mendadak menimbulkan gelombang ketidakpuasan di kalangan aparatur. Persoalan ini akhirnya menembus DPR RI. Anggota Komisi 2 dari PKB, Muhammad Thaha mendesak pemerintah pusat turun tangan. Ia menekankan situasi ini tidak boleh berlarut-larut. Ribuan orang dipati turun ke jalan. Wajah penuh amarah memikul satu tekad melengserkan pemimpin yang dianggap melangkahi batas. Aksi ini bukan sekadar protes, tapi getaran keras yang mengirim pesan ke seluruh penjuru negeri. Sebuah peringatan bahwa ketika kekuasaan dijalankan untuk segelintir orang dan mengabaikan suara rakyat, badai perlawanan pasti datang. Pandangan ini juga disuarakan oleh Neneng Rosdiane, petani muda yang pernah viral dengan kata-kata lantangnya. Menurut Neneng, Pati kini menjadi titik penentu. Jika masyarakat berhasil menurunkan seorang raja kecil dari kursi kekuasaannya, itu akan menjadi pesan jelas. Rakyat tidak akan tinggal diam. Peristiwa Pati ini bisa menjadi cermin. Apakah kendali negeri masih di tangan rakyat atau sudah sepenuhnya direnggut oleh mereka yang duduk di kursi empuk kekuasaan. Bersama dengan itu, media sosial meledak jadi panggung solidaritas. Foto-foto dan video aksi dari Pati menyebar ke seluruh negeri. Tagar tentang perlawanan rakyat Pati menduduki trending menggaungkan pesan bahwa perjuangan mereka bukan hanya milik warga lokal, tapi juga suara seluruh rakyat Indonesia yang muak dengan kesewenang-wenangan. Setiap unggahan, setiap komentar menjadi bahan bakar yang membuat semangat massa di lapangan semakin menyala. Di sisi lain, para tokoh masyarakat, akademisi, hingga ulama setempat ikut angkat bicara. Mereka menegaskan bahwa aksi ini bukan sekadar luapan emosi, melainkan bentuk kesadaran politik rakyat yang selama ini terabaikan. Dari mimbar masjid hingga forum diskusi kampus, suara senada terdengar bahwa pemerintah daerah seharusnya melayani bukan menindas. Dukungan moral dari para tokoh ini membuat gerakan rakyat Pati semakin kokoh, tak mudah dipecah atau dibungkap.